Sekilas Pulau Pagerungan Kecil tidak memperlihatkan keistimewaan di antara beberapa pulau yang ada di sekitarnya. Deretan pohon kelapa yang diselingi pohon-pohon pisang tampak mendominasi jenis tanaman di pulau, yang memiliki jumlah penduduk 4.469 jiwa tersebut.
Berada di antara gugusan Kepulauan Kangean, pulau ini pun tidak termasuk dalam daftar tujuan wisata sebagaimana Pulau Madura yang berada di bagian barat, maupun Pulau Bali yang berjarak 60 mil di bagian selatan. Meski secara administratif pulau ini masuk Kabupaten Sumenep, Provinsi Jawa Timur, namun secara geografis keberadaan Pulau Pagerungan Kecil lebih dekat ke Pulau Bali.
Namun dari kebersahajaan pulau yang baru dikenal dan dihuni penduduk sejak awal 1910 tersebut, kini telah terukir sebuah momen sejarah baru kemaritiman Indonesia. Di pulau inilah sebuah replika kapal tradisional yang digunakan nenek moyang bangsa Indonesia untuk berlayar sampai ke Afrika Selatan beberapa abad lalu dibuat oleh penduduk setempat.
Lallai Baka Ellau
Adalah As'ad Abdullah, seorang pembuat kapal tradisional warga Pagerungan Kecil, yang telah mengangkat nama Pulau Pagerungan di media nasional dan internasional. Nick Burmingham yang telah mengunjungi sejumlah ahli pembuat kapal tradisional di seluruh Indonesia, yakin bahwa As’ad mampu melaksanakan pembuatan replika kapal bernilai sejarah tersebut.
Sementara dari sisi rancang bangun, As'ad – kini berusia 72 tahun – menjelaskan bahwa kapal Borobudur tersebut mengambil desain dari corak perahu Soppe yang digunakan oleh suku Bajo sekitar abad ke-8. Bahkan untuk nama kapal itu pun digunakan bahasa Bajo yaitu Lallai Baka Ellau, yang berarti “berlari bersama Matahari”. Kelak kemudian hari ketika peresmian pelayaran ekspedisi Borobudur, Presiden Megawati memberi nama Samudraraksa kepada kapal karya As’ad dan kawan-kawan tersebut, menggantikan nama indah Lallai Baka Ellau.
Menurut Nick, nama Lallai Baka Ellau itu dipilih karena misi ekspedisi yang dijalankan adalah menuju arah barat, membuat kapal tersebut seolah-olah tengah mengejar Matahari atau Ellau. Sebagai catatan, salah satu bukti telah terjadi hubungan dagang antara Madagaskar dan Nusantara pada masa lalu adalah adanya kesamaan sejumlah nama benda di antara kedua bangsa, termasuk Ellau sendiri yang juga berarti Matahari dalam bahasa Madagaskar.
Pulau Sapeken, sebuah metropulau
Ibukota Kecamatan Sapeken adalah Pulau Sapeken. Kecamatan tersebut terdiri dari 33 pulau kecil dan 9 desa. Sebanyak 5 pulau yang tidak terhuni warga. Pulau Sapeken luasnya hanya sekitar 3,5 km persegi dengan jumlah penduduk 11.343 KK. Saking padatnya penduduk Pulau Sapeken, pendatang menyebutnya sebagai pulau metropolis. Nyaris tidak lahan kosong, semuanya dipadati rumah penduduk, layaknya kota metropolitan. Selebihnya hanya ada lapangan olahraga dan ditambah satu hektare tanaman kelapa. Kendati pulau kecil, Pulau Sapeken mempunyai tiga masjid. Kehidupan keagamaan masyarakat Sapeken tergolong dinamis, ada beberapa aliran dan organisasi masyarakat Islam seperti NU, Persis, Muhammadiyah dan lainnya. Umat non muslim hanya 0,5 persen saja, kerukunan antar umat beragama tergolong sangat baik.
Meski termasuk ke dalam wilayah pemerintahan Kabupaten Sumenep, namun masyarakat di sana tidak ada yang menggunakan bahasa Madura. Ada beberapa bahasa yang digunakan masyarakat dalam sehari-hari. Pertama, Bahasa Indonesia, Bahasa Bajo, Bugis, Makassar dan Mandu (semuanya Sulawesi). Hanya sejumlah orang saja yang bisa bahasa Madura ala Sumenep. Penduduk Sapeken dari sejarahnya memang pendatang dari daerah Makassar. Ketika itu, orang kampung Bajo Sulawesi Selatan beralayar cari ikan dan menetap di Pulau Sapeken.
Penghasilan utama penduduk Sapeken adalah mencari ikan dilaut. Sayangnya sistem penjualan hasil tangkapan masih tradisional. Minimnya perhatian pemerintah memaksa sebagian penduduknya untuk merantau jauh ke luar negeri. Sepintas taraf ekonomi masyarakat kepulauan Sapeken boleh jadi melebihi kesejahteraan ekonomi masyarakat daratan Sumenep. Kendati masyarakat hidup di pulau-pulau kecil nan jauh dari keramaian, kebutuhan ekonomi masyarakat selalu tercukupi. Ini berbeda, dengan kondisi masyarakat daratan yang selalu mengharap bantuan-bantuan dari pemerintah, serupa Jaring Pengamanan Sosial (JPS).
Masyarakat kepulauan tidak begitu suka akan bantuan-bantuan yang bersifat memanjakan masyarakat dan tidak mengajak masyarakat untuk kreatif menggali potensi ekonomi kepulauan. Apalagi, bantuan semacam itu bertolak belakang dengan kinerja nelayan yang dikenal pantang menyerah sebelum sukses. Seperti, usaha pelaut atau nelayan yang sebelum berhasil menangkap ikan tidak mau pulang ke darat. "Di kepulauan banyak potensi. Kenapa masyarakat tidak dibekali keterampilan untuk dibina, seperti budi daya ikan kerapu," ujar salah seorang penduduk.
Kesehatan dan pendidikan merupakan masalah serius di masyarakat kepulauan. Alat transportasi tenaga medis dan tenaga pendidik sangatlah minim dan hanya mengandalkan perahu saja. Guru-guru dari kabupaten biasanya hanya datang sebentar untuk menengok kondisi sekolah, namun tidak pernah betah berlama-lama tinggal di sana.
Transportasi tampaknya menjadi kendala utama bagi pengembangan potensi wisata di